Berkenalan dengan Actor-Network Theory

|

Ditulis oleh putubuku di/pada September 17, 2008

Perkembangan teknologi informasi yang amat pesat, terutama yang berkaitan dengan Internet, sering membuat kita terpana. Setelah terpana, kita lalu juga sering bertanya: apa sesungguhnya yang menggerakkan perkembangan itu? Apalagi setelah kita melihat berbagai dampak teknologi -entah itu ‘positif’, atau ‘negatif’, atau ‘netral’- muncul pertanyaan: apakah kita, sebagai masyarakat, punya kendali atas perkembangan itu? Di bidang perpustakaan dan informasi, perkembangan teknologi selalu menimbulkan isyu dan kontradiksi antara kemudahan versus kesenjangan, kemerdekaan versus kontrol, kemajuan peradaban versus dekadensi.

Kekaguman pada teknologi informasi sering menjadi basis bagi pandangan positivistis dan deterministik. Pandangan ini menyatakan bahwa teknologi informasi sudah pasti menimbulkan dampak yang sudah dapat diduga sebelumnya. Misalnya, pandangan-pandangan deterministik selalu yakin bahwa komputer dan Internet pasti menghasilkan liberalisasi informasi, memajukan perekonomian, dan membawa kesejahteraan. Atau sebaliknya, pandangan fatalis menganggap bahwa Internet pasti akan menimbulkan kekacauan moral, dekadensi, kejahatan antar-negara. Di bidang perpustakaan dan informasi, teknologi selalu dilihat sebagai pisau bermata-dua: di satu sisi mempermudah akses, di sisi lain menimbulkan kekacauan organisasi informasi dan kesenjangan digital.

Pandangan yang berlawanan dari kaum deterministik adalah pandangan strukturasi, mengambil basis dari kaum kontruktivistis dan teori strukturasi Giddens. Menurut pandangan ini, teknologi tak punya dampak langsung dan bukan faktor penentu, sebab ia merupakan alat semata sehingga tergantung pada masyarakat yang menggunakannya. Secara ekstrimnya muncul anekdot, “It’s not the gun, but it’s the man behind the gun..”. Namun pandangan ini dianggap justru mirip pandangan deterministik, sebab menganggap bahwa pasti masyarakat lah yang menentukan dampak sebuah teknologi. Pandangan yang lebih “lunak” dari kaum kontruktivistis menganggap bahwa teknologi adalah sebuah struktur-sosial, dan karenanya ia bukan satu-satunya penentu walaupun dapat memengaruhi perkembangan sebuah masyarakat.

Dalam pandangan kaum penganut konstruktivis dan strukturasi, semua inovasi dan pemanfaatan teknologi selalu merupakan proses tawar-menawar antara alat dan penggunanya. Setiap teknologi selalu punya dua potensi, yaitu mendukung (enabling) dan menghalangi (constraining) tindakan-tindakan manusia. Penulis-penulis di bidang sistem informasi seperti Wanda Orlikowski dan Geoff Walsham gemar menggarisbawahi keadaan ini. Almarhum Rob Kling adalah penulis lain yang gigih menentang pandangan determinisme teknologi, terutama dengan menegaskan sisi kemasyarakatan dalam aplikasi teknologi informasi, sehingga kini kita mengenal istilah social computing. Dari kubu ilmu perpustakaan, nama-nama seperti Wilson dan Saracevic telah sejak lama mengajak peneliti memperhatikan aspek pengguna, diikuti oleh penulis-penulis Eropa Utara seperti Savolainen dan Tuominen.

Namun pandangan konstruktivistis yang berbasis strukturasi pun dianggap kurang memadai untuk memahami kompleksitas teknologi. Terutama, pandangan yang meminjam teori sosial dari Giddens kurang jelas menggambarkan sisi teknis dari sebuah teknologi, dan dianggap terlalu condong ke persepsi orang tentang sebuah mesin. Pihak pembuat dan perancang teknologi seringkali tersamarkan, atau bahkan tak ada dalam gambar strukturasi. Secara becanda, orang sering bilang, pandangan strukturasi ini “terlalu sosialis”.

Untuk memperjelas sisi mesin atau sisi fisik dari sebuah teknologi, Orlikowski pernah mencoba membagi dua teknologi menjadi: technological artifact dan technology-in-practice. Sebagai artefak, jelaslah bahwa teknologi terlihat ‘berbentuk fisik’, sementara ’praktik berteknologi’ terlihat sebagai aktivitas manusia (tentang technologi practice pernah dibahas pula di blog ini dengan judul Kepustakawanan Sebagai Praktik Teknologi). Persoalannya sekarang adalah: bagaimana menjelaskan kaitan antara teknologi sebagai artefak (disain, prosedur, mekanisasi, proses kerja) dengan praktik penggunaannya (norma, aturan, kebiasaan, tujuan hidup).

Dari kritik terhadap kekurangan-kekurangan pandangan strukturasi inilah lahir serangkaian teori yang disebut ANT alias Actor Networks Theory. Pionir dari teori ini adalah dua jawara Prancis, yaitu Michel Callon (lihat situsnya di sini) dan Bruno Latour (di sini). Walaupun ANT bukan teori yang spesifik dikembangkan untuk memahami teknologi informasi, tetapi teori ini membantu banyak peneliti teknologi dan sistem informasi dalam memahami praktik teknologi sebagai sebuah jaringan antar manusia dan antar aktor. Inti dari teori ini menyatakan bahwa segala hal dapat dilihat sebagai keterkaitan antar aktor (manusia dengan manusia, manusia dengan non-manusia, non-manusia dengan non-manusia). Di dalam teori ini, secara kasarnya, manusia maupun non-manusia (misalnya komputer atau artefak teknologi lainnya) adalah sama, “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”.

Dalam bidang informasi dan perpustakaan, ANT dianggap cocok untuk menjelaskan kaitan antara artefak dan konteks sosial, termasuk proses penyesuaian antara karakteristik teknologi dan kemauan manusia. Dengan teori ini, maka semua aktor, baik dari pihak artefak maupun dari pihak pemanfaat atau pengguna, masuk dalam hitungan. Dus, misalnya kita ingin mengkaji penerapan teknologi komputer dalam bentuk perpustakaan digital (digital libraries) di perguruan tinggi, maka kita memberikan perhatian yang adil, baik terhadap disain teknologi mapun pemanfaatannya oleh mahasiswa . Secara khusus, teori-teori yang berkategori ANT dapat membantu kita memahami bagaimana ide, nilai, atau pun norma masyarakat manusia tertanam di dalam sebuah teknologi. Perhatikanlah bahwa biar bagaimana pun ANT adalah “teori sosial”, sehingga teknologi tetap dianggap sebagai bagian dari masyarakat manusia.

Kelebihan ANT dibandingkan strukturasi terletak pada pengakuan yang cukup pada peran disain dan tujuan pembuatan alat (keduanya melibatkan manusia juga, lho..), selain pada peran masyarakat pengguna. Lewat teori ANT, peneliti sistem informasi dapat memasukkan tahap-tahap teknis dalam pengembangan sebuah aplikasi komputer di sebuah organisasi manusia, dan dapat melihat proses pengembangan itu sebagai sebuah jaringan antar aktor yang saling memengaruhi. Dus, pada akhirnya teori-teori yang merujuk ke ANT ini melihat teknologi sebagai sebuah keseluruhan dan gabungan dari potongan-potongan yang saling nyangkut tanpa dapat dipisahkan begitu saja. Teknologi bukan melulu artefak, dan bukan melulu pemanfaatannya, melainkan negosiasi yang terus menerus antara keduanya, melibatkan berbagai aktor baik berupa manusia maupun non-manusia.

Internet dan perkembangan social network dalam bentuk blogging, Web 2.0, dan Facebook merupakan lahan amat subur bagi penerapan teori-teori berbasis ANT. Anda mau mencoba? :-)

0 komentar:

Posting Komentar