Informasi : Dibutuhkan, Diinginkan, Diperlukan

|

Ditulis oleh putubuku di/pada Oktober 11, 2008

Pada masa-masa awal kepustakawanan, salah satu argumentasi paling kuat untuk membenarkan pendirian sebuah perpustakaan adalah: lembaga ini dibutuhkan oleh manusia. Dari argumentasi inilah kemudian banyak pemikir, konseptor, dan peneliti bidang perpustakaan berusaha menjernihkan apa yang dimaksud dengan “dibutuhkan” itu. Seperti biasa, muncul perdebatan tentang istilah dasar yang tepat: apakah butuh (need) atau ingin (want) atau perlu (require).

Perlahan tapi pasti istilah yang lebih sering dipakai adalah “kebutuhan informasi” (information needs). Selain itu, “kebutuhan” juga semakin tak terpisahkan oleh tiga istilah penting lainnya, yaitu: pencarian atau penemuan (seeking atau searching) dan penggunaan/pemanfaatan (using). Semua istilah-istilah ini melengkapi konsep sentral yang biasa disebut “perilaku informasi” atau information behavior.

Jelaslah bahwa ada asumsi dasar: seseorang berperilaku karena terdorong oleh kebutuhan. Asumsi ini menjadi pondasi dari apa yang kita kenal dengan user-oriented paradigm sebab fokusnya memang pada apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dirasakan oleh seseorang ketika ia mencari, menemukan, dan menggunakan informasi. Inilah yang selalu ditekankan oleh penulis-penulis tentang user studies.

Selain melihat kebutuhan sebagai bagian dari perilaku yang dapat diobservasi, juga muncul konsentrasi pada penelitian tentang apa yang terjadi di dalam benak manusia, atau yang terbentuk di “jiwa dalam”-nya sebagai sebentuk motivasi (inner motivational state). Puluhan tahun yang silam, seorang penulis bernama Taylor (1968) sudah mengingatkan dunia kepustakawanan dan informasi bahwa kebutuhan informasi merupakan kondisi rumit; merupakan gabungan dari karakteristik personal dan psikologis yang cenderung tak mudah diungkapkan. Selain itu, kebutuhan ini juga seringkali samar-samar dan dapat tersembunyi di bawah alam sadar.

Menurut Taylor, ada empat lapisan atau tingkatan yang dilalui oleh pikiran manusia sebelum sebuah kebutuhan benar-benar dapat terwujud secara pasti:

  1. Visceral need, yaitu tingkatan ketika “need for information not existing in the remembered experience of the inquirer” – atau dengan kata lain ketika kebutuhan informasi belum sungguh-sungguh dikenali sebagai kebutuhan, sebab belum dapat dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman seseorang dalam hidupnya. Inilah kebutuhan “tersembunyi” yang seringkali baru muncul setelah ada pengalaman tertentu. Misalnya, semua orang sebenarnya membutuhkan petunjuk jalan ke sebuah tempat (katakanlah ke Paris, kota yang indah itu!) tetapi tak semua orang menyadari kebutuhan ini sampai pada suatu hari seseorang harus ke kota itu.
  2. Conscious need, yaitu ketika seseorang mulai menggunakan “mental-description of an ill-defined area of indecision” atau ketika seseorang mulai mereka-reka apa sesungguhnya yang ia butuhkan. Misalnya, ia mulai berpikir, “Apakah saya perlu peta kota Paris?”, atau “Apakah saya perlu visa untuk ke sana?” Biasanya ini muncul karena orang itu mengalami sebuah peristiwa, yakni ketika ia tiba-tiba mendapat tugas untuk pergi ke Paris.
  3. Formalized need, yaitu ketika seseorang mulai secara lebih jelas dan terpadu dapat mengenali kebutuhan informasinya, dan mungkin di saat inilah ia baru dapat menyatakan kebutuhannya kepada orang lain. Misalnya, di saat inilah dia berkunjung ke perpustakaan dan berbicara kepada seorang pustakawan, “Apakah ada buku tentang Paris di sini?”. Perhatikanlah, belum tentu orang ini akan menyampaikan apa sebenarnya yang menyebabkan dia ingin membaca buku tentang Paris.
  4. Compromised need, yaitu ketika seseorang mengubah-ubah rumusan kebutuhannya karena mengantisipasi, atau bereaksi terhadap, kondisi tertentu. Misalnya, boleh jadi dua orang yang sama-sama membutuhkan informasi tentang Paris mengemukakan kebutuhannya dengan dua cara berbeda. Yang satu mungkin langsung berkata, “Saya butuh peta Paris” (karena tahu bahwa dia perlu bertanya lebih spesifik), sementara yang lain mungkin berkata, “Kamu pernah ke Paris, kan?” (karena dia tahu bahwa yang ditanya memang pernah ke Paris).

Karya Taylor adalah salah satu karya yang membuka jalan bagi berbagai penelitian tentang kebutuhan informasi. Penulis-penulis lain segera mengikuti jejaknya. Salah satunya adalah Dervin (1992) yang memperjelas konsep “visceral need” dan “conscious need” dalam proses Sense-Making. Di dalam modelnya, Dervin memperjelas tahap-tahap perubahan kondisi benak seseorang ketika ia menjalani masa kebingungan dalam konteks kebutuhan informasi.

Walau tidak langsung menggunakan model Talyor, para peneliti lain menggunakan pandangan Taylor untuk memfokuskan perhatian mereka. Misalnya Saracevic dan kawan-kawan (1988) mengusulkan pendekatan problem orientation, yaitu fokus pada isyu-isyu yang memicu seseorang mencari informasi. Artinya, Saracevic dan kawan-kawannya mengakui pentingnya tingkatan “conscious need” seperti yang digambarkan Taylor di atas, tetapi mereka mengajak peneliti mengungkap kejadian atau isyu yang memicu “conscious need” itu, bukan hanya mencoba mengenali kebutuhan informasi seseorang. Dengan kata lain pula, Saracevic menganjukan peneliti memperhatikan konteks dari sebuah kebutuhan; bukan cuma kebutuhannya itu sendiri.

Secara lebih spesifi, Saracevic et al. (1988) menyatakan bahwa penelitian tentang kebutuhan informasi harus memperhatikan faktor berikut:

  1. Persepi seseorang tentang masalah yang sedang ia hadapi. Misalnya, dengan memakai contoh kota Paris di atas, kebutuhan informasi jelaslah muncul karena seseorang tiba-tiba harus ke Paris karena tugas kantornya. Jika kita ingin meneliti kebutuhan informasi, sebaiknya kita juga meneliti bagaimana para responden melihat (mempersepsi) hal-hal yang berkait dengan kebutuhannya. Apakah responden menganggap pergi ke Paris itu sebagai tantangan? Atau malah sebagai beban?
  2. Rencana seseorang dalam penggunaan informasi. Ketika seseorang membutuhkan informasi, sedikit banyak ia juga sudah punya ancang-ancang tentang kegunaan informasi itu. Seseorang yang punya kebutuhan informasi jalan dan alamat di Paris mungkin sudah punya rencana beanja dan cari makanan khas Paris :-)
  3. Kondisi pengetahuan seseorang yang relevan dengan kebutuhannya. Ini adalah unsur penting untuk melihat seberapa besar “gap” yang ada di benak seseorang; antara apa yang sudah diketahuinya tentang Paris dan apa yang belum diketahuinya. Wajarlah jika gap ini akan berbeda-beda di setiap orang. Kalau ada 30 orang yang akan pergi ke Paris, dan ketigapuluh orang itu sama-sama membutuhkan peta Paris, dapat dipastikan bahwa mereka tidak cuma membutuhkan satu jenis peta, sebab mungkin saja ada yang sudah pernah ke Paris walau cuma 1 malam, atau sudah pernah melihat peta Paris, dan bahkan mungkin sudah punya peta Paris, tetapi lupa di mana menyimpannya! :-)
  4. Dugaan seseorang tentang ketersediaan informasi yang dibutuhkannya. Ini adalah unsur yang berkaitan dengan unsur keempat dalam model Taylor di atas. Seseorang selalu punya bayangan tentang sumber informasi yang tersedia di sekitarnya. Seorang mahasiswa yang akan pergi ke Paris punya bayangan berbeda dari seorang ibu rumahtangga yang akan pergi ke kota sama. Jika keduanya membutuhkan informasi, maka keduanya pasti punya bayangan ke mana musti mencari. Mungkin saja keduanya membuka Google, atau mungkin saja si Ibu lebih taktis dan langsung menelpon kedutaan Perancis yang terdekat.

Dari pandangan-pandangan berbagai penulis yang dikutip di atas, tampaklah bahwa kebutuhan informasi merupakan sebuah konsep yang cukup rumit dan menjadi salah satu topik penelitian yang populer di bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Apa yang terungkap di atas barulah konsep-konsep dasar. Ada banyak lagi teori-teori yang lahir dari konsep-konsep dasar tersebut. Jangan kuatir akan kekurangan teori! :-)

Kepustakawanan

Istilah ’kepustakawanan’ perlu dibicarakan bersama istilah ‘ilmu perpustakaan’ dalam pembahasan untuk lebih memahami bagaimana sebuah profesi dan ilmu lahir, tumbuh, dan berkembang di masyarakatnya. Kita memakai kata kepustakawanan untuk menerjemahkan kata librarianships, menyesuaikannya dengan kata pustakawan sebagai terjemahan dari librarian.

Di dalam pengertian bahasa aslinya, akhiran –ships mengacu kepada empat artian (makna kata), yaitu:

  • Keadaan atau kualitas sesuatu, misalnya dalam kata companionships (kesetiakawanan, keadaan atau kualitas perkawanan atau pertemanan).
  • Status, formalitas, atau kehormatan, misalnya dalam kata citizenships (kewarganegaraan, status atau kehormatan sebagai warganegara).
  • Tingkatan keterampilan dalam kapasitas melakukan pekerjaan tertentu, misalnya dalam kata workmanships (kekaryaan, keterampilan dan kapasitas sebagai pekerja).
  • Keberkumpulan atau kebersamaan, misalnya dalam kata memberships (keanggotaan, kebersamaan di dalam satu perkumpulan tertentu). (Lihat http://dictionary.reference.com/browse/-ship)

Dengan empat artian tersebut, maka kepustakawanan sebenarnya mengandung pengertian kualitas (artian pertama) dan rasa hormat atau respek masyarakat (artian kedua) terhadap sebuah profesi, yakni profesi pustakawan. Selain itu, kepustakawanan juga memperlihatkan kebanggaan dan keanggotaan sebagai pustakawan, sebagaimana yang terdapat dalam artian terakhir.

Namun dalam artian yang lebih spesifik untuk dunia praktik, kita menggunakan salah satu dari keempat artian di atas. Misalnya, di dalam kamus , librarianships diartikan sebagai: a profession concerned with acquiring and organizing collections of books and related materials in libraries and servicing readers and others with these resources; the position or duties of a librarian. (Lihat http://dictionary.reference.com/browse/librarianship)

Dengan definisi di atas, maka librarianships dibatasi pada artian ketiga dan dihubungkan hanya dengan profesi atau kekaryaan. Ini sebenarnya adalah artian yang sangat sempit, walaupun sebagian besar masyarakat memang mengartikannya begitu.

Secara sederhana, dari artian-artian sempit maupun luas di atas, kita dapat membayangkan bahwa librarianships atau kepustakawanan memang berintikan sebuah profesi, yaitu pustakawan. Namun profesi ini tidak berada dalam kekosongan, melainkan di dalam sebuah masyarakat yang berisikan berbagai nilai tentang kualitas, kehormatan, dan kebersamaan. Dalam konferensi IFLA di New Delhi pada 24 – 28 Agustus 1992 terlihat dengan jelas betapa kepustakawanan diartikan secara lebih luas:

  • Pustakawan bekerja berdasarkan etos-etos kemanusiaan, humanistic ethos yang dianggap sebagai elan kepustakawanan, sebagai lawan dari kegiatan pertukangan.
  • Pustakawan sebagai fasilitator kelancaran arus informasi dan pelindung hak asasi manusia dalam akses ke informasi.
  • Pustakawan memperlancar proses transformasi dari informasi dan pengetahuan menjadi kecerdasan sosial atau social intelligence.

Dari ketiga pendapat di atas, terlihat bahwa kepustakawanan berkaitan dengan kualitas hidup manusia, terutama kualitas intelektual.

Kepustakawanan dan Sistem Sosial

Kadang-kadang, karena terlalu berkonsentrasi pada kegiatan teknis perpustakaan, kita lupa bahwa kepustakawanan sebenarnya adalah kegiatan antar manusia, yang berpusaran pada aktivitas-aktivitas menyimpan dan menata pustaka bagi keperluan para pencari informasi. Dikatakan sebagai antar manusia, karena setidaknya ada dua pihak yang terlibat di sini, yakni orang-orang yang melakukan penyimpanan dan penataan itu (pustakawan) dan orang-orang yang mencari informasi (pemakai).

Kedua pihak melakukan kegiatan ini secara interaktif dan berulang-ulang dalam sebuah rentang waktu dan ruang, sehingga membentuk pola tertentu di suatu masyarakat. Giddens menyatakan keterpolaan ini sebagai ‘institusi’ (1989, h. 19).

Kita perlu memperjelas arti ‘institusi’ di sini, supaya jangan berkesan bahwa sebuah institusi adalah bentuk fisik dari gedung, atau sebuah badan pemerintahan. Ada dua hal utama yang membentuk sebuah institusi, yakni struktur masyarakat itu dan aktor (atau agen), yaitu individu-individu di dalam masyarakat.

Struktur sosial adalah tata aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang dipakai oleh aktor-aktor individual dalam masyarakat ketika mereka melakukan tindakan-tindakan (actions). Pada saat yang sama, tata-aturan dan sumberdaya itu sendiri adalah buatan dan hasil negosiasi antar individu itu pula, sehingga terjadilah hubungan ganda (duality) antara struktur dan agen.

Di dalam sebuah masyarakat, kepustakawanan juga adalah sistem sosial, dalam wujud interaksi dan kegiatan antar aktor (’aktor pustakawan’ dan ‘aktor anggota masyarakat’) yang terus menerus dilakukan (diproduksi) dan diulang-lakukan (reproduksi). Semua ini bisa disebut praktik-praktik sosial (social practices) yang teratur sepanjang ruang dan waktu.

Dalam sebuah sistem sosial, para aktor menggunakan struktur untuk bertindak. Pada saat yang sama, struktur adalah hasil dari tindakan karena aturan-aturan dan sumberdaya dalam sebuah sistem terwujud jika ditaati dan dilaksanakan oleh anggota-anggota sistem. Dengan kata lain, struktur secara terus-menerus terwujudkan sebagai aksi (enacted) dan diulang-wujudkan (re-enacted) di dalam dan melalui interaksi.

Kita musti ingat, struktur di sini adalah tata-aturan, termasuk nilai dan norma, serta sumberdaya, baik sumberdaya fisik maupun non-fisik, yang dipakai bersama sebuah masyarakat. Kepustakawanan sebagai struktur adalah segala aturan, nilai, norma, fasilitas, teknik, gedung, dan sebagainya. Misalnya, jam buka perpustakaan adalah aturan, kemerdekaan berpikir adalah nilai, bersikap tertib dan sopan di ruang perpustakaan adalah norma, akses ke Internet adalah fasilitas, cara membuat OPAC adalah teknik, dan sebagainya.

Kita juga musti ingat, struktur (aturan, nilai, norma, fasilitas, teknik) ini harus disepakati oleh aktor-aktor (pustakawan, pegawai, anggota perpustakaan, birokrat, teknolog), lalu harus diwujudkan atau dipraktikkan berulang-ulang (enacted and re-enacted). Kesepakatan dan perwujudan secara berulang-ulang inilah yang disebut institusi kepustakawanan. Kalau tidak ada (atau kurang ada) kesepakatan dan keterulangan, maka tidak ada (atau kurang ada) kepustakawanan.

Kepustakawanan dan Teknologi Informasi

Lalu bagaimana dengan teknologi yang digunakan di perpustakaan? Apakah kepustakawanan tidak mengandung teknologi atau dibicarakan secara terpisah dari teknologi informasi?

Sebaiknya kita melihat teknologi bukan semata-mata mesin. Pacey (1983) sudah menegaskan teknologi lebih tepat disebut technology practice. Sebagian besar masyarakat hanya melihat teknologi dalam arti terbatas (sempit), yang mengandung di dalamnya alat atau mesin, selain juga pengetahuan dan keterampilan menggunakan alat atau mesin tersebut. Padahal teknologi ’sempit’ ini bersinggungan dengan aspek budaya dan aspek organisasional untuk menjadi sebuah aktivitas yang terus menerus dan meluas di sebuah masyarakat. Itu sebabnya Pacey menegaskan, teknologi adalah kebiasaan sosial (social practice).

Memakai cara pandang Pacey di atas, kita dapat melihat kepustakawanan sebagai technology practice, khususnya untuk teknologi komunikasi (termasuk telekomunikasi) dan informasi. Misalnya buku (dan kini e-book) adalah ‘teknologi sempit’ yang dihasilkan oleh teknik-teknik percetakan (dan kini komputer). Teknik-teknik percetakan dan komputer yang menghasilkan buku dan e-book ini sendiri lahir di laboratorium-laboratorium yang dihuni oleh komunitas ilmuwan (misalnya komunitas ilmuwan kimia yang menghasilkan temuan tentang tinta cetak, dan komunitas ilmuwan elektronik yang menghasilkan temuan tentang portable reader untuk e-book).

Buku dan e-book, atau koran elektronik dan digital television, akan tetap menjadi ‘teknologi sempit’ kalau tidak bersinggungan dengan sistem yang lebih luas, yang di dalamnya mengandung aspek sosial, budaya dan aspek organisasional. Ketika buku menjadi bagian dari koleksi fisik perpustakaan, bersama dengan e-book menjadi koleksi digitalnya, dan koran serta televisi tersedia di ruang baca, maka terbentuklah technology practice berupa kepustakawanan.

Tentu saja, benda-benda teknologi ini pada saat sama juga menjadi bagian dari berbagai technology practice lainnya, seperti industri buku, komunikasi massa, dan pemilihan umum karena pemilihan umum moderen akhirnya melibatkan media massa, dan sekarang juga Internet; para calon presiden Amerika Serikat kini tampil di You-tube. Lalu, sebagaimana terjadi di Indonesia, You-tube juga menimbulkan kontroversi luas. Teknologi yang tadinya ’sempit’ akhirnya menjadi persoalan sosial.

Kepustakawanan sebenarnya juga adalah ‘persoalan sosial’ (walaupun tidak selalu kontroversial) yang berkaitan dengan teknologi juga. Kehadiran komputer dan Internet menimbulkan konfigurasi baru, tata aturan, nilai, dan norma baru, selain fasilitas baru. Keseluruhan praktik, persoalan, perdebatan, pemanfaatan, penolakan, dan segala hiruk-pikuk inilah yang mewarnai sebuah kepustakawanan.

Sedemikian hiruk pikuknya persoalan itu, sehingga selalu muncul keinginan untuk memahami dan menemukan solusi di bidang kepustakawanan. Keinginan ini amat kuat dan amat penting, sehingga lahirlah apa yang sekarang kita sebut Ilmu Perpustakaan.

Bacaan:

Giddens, A. (1989), Sociology, Basil Blackwell : Cambridge.

Pacey, Arnold (1983), The Culture of Technology, Basil Blackwell : Oxford

0 komentar:

Posting Komentar